Fraud Triangle: Pengertian, Elemen Utama, dan Dampaknya

ScaleOcean Team
Posted on
Share artikel ini

Fraud dalam akuntansi dan keuangan adalah risiko serius yang dapat merugikan perusahaan secara finansial dan merusak reputasi, bahkan mempengaruhi kelangsungan bisnis jangka panjang. Fraud bisa terjadi kapan saja, oleh siapa saja, termasuk karyawan dan pihak eksternal. Oleh karena itu, penting bagi perusahaan untuk memahami faktor penyebab fraud.

Dengan memahami Fraud Triangle, perusahaan dapat lebih mudah mendeteksi potensi risiko fraud dan mengambil langkah-langkah pencegahan yang tepat. Artikel ini akan membahas secara mendalam mengenai elemen-elemen dalam Fraud Triangle, bagaimana hal ini berperan dalam dunia bisnis, serta strategi yang dapat diterapkan untuk mencegah kecurangan.

starsKey Takeaways
  • Teori Fraud Triangle adalah langkah pertama yang krusial bagi perusahaan untuk membangun sistem pertahanan yang proaktif terhadap segala bentuk kecurangan finansial.
  • Tiga elemen utama dalam Fraud Triangle, yaitu tekanan finansial, adanya kesempatan karena kontrol lemah, dan pembenaran tindakan, muncul secara bersamaan pada individu.
  • Pencegahan kecurangan berdasarkan teori Fraud Triangle melibatkan pengelolaan tekanan, kesempatan, dan rasionalisasi melalui kontrol internal yang kuat
  • Software akuntansi ScaleOcean dapat secara signifikan mengurangi risiko fraud dengan mengotomatiskan proses dan memperkuat pengawasan transaksi.

Coba Demo Gratis!

requestDemo

Apa Itu Teori Fraud Triangle?

Teori Fraud Triangle adalah kerangka kerja yang dikembangkan oleh Donald R. Cressey pada tahun 1953 untuk menjelaskan penyebab utama terjadinya kecurangan. Cressey melakukan penelitian terhadap pelaku penggelapan dana untuk memahami faktor-faktor yang mendorong seseorang melakukan tindakan fraud.

Teori ini menyatakan bahwa terdapat tiga elemen yang harus ada secara bersamaan agar fraud bisa terjadi, yaitu tekanan (pressure), kesempatan (opportunity), dan rasionalisasi (rationalization). Fraud Triangle telah menjadi alat yang sangat penting di dunia audit dan akuntansi.

Dengan memahami tiga faktor utama ini, auditor dan manajer dapat lebih mudah mendeteksi potensi risiko fraud dan merancang langkah-langkah pencegahan yang lebih efektif. Teori ini relevan tidak hanya untuk mendeteksi, tetapi juga untuk mencegah fraud, dengan fokus pada kontrol internal yang kuat dan budaya perusahaan yang mengutamakan integritas.

Tiga Elemen Utama dalam Fraud Triangle

Tiga Elemen Utama dalam Fraud Triangle

Untuk memahami secara utuh bagaimana kecurangan terjadi, kita perlu membedah setiap komponen dari Fraud Triangle secara lebih mendalam. Ketiga elemen ini saling terkait dan menciptakan badai sempurna yang mendorong individu, yang mungkin pada awalnya jujur, untuk melintasi batas etika. Pemahaman akan setiap elemen adalah kunci untuk merancang strategi pencegahan yang efektif.

1. Tekanan (Pressure)

Tekanan adalah motivasi atau alasan utama yang mendorong seseorang untuk melakukan kecurangan. Ini adalah elemen pertama dan sering kali menjadi pemicu awal dari serangkaian keputusan buruk. Tekanan ini bisa datang dari berbagai sumber, baik internal maupun eksternal, dan sering kali bersifat rahasia sehingga sulit dideteksi oleh orang lain.

a. Tekanan Finansial Pribadi (Utang, Gaya Hidup)

Ini adalah jenis tekanan yang paling umum dan mudah dipahami. Seseorang mungkin menghadapi tumpukan utang kartu kredit, cicilan rumah yang besar, atau biaya medis tak terduga yang melampaui kemampuannya.

Selain itu, dorongan untuk mempertahankan gaya hidup mewah yang tidak sesuai dengan pendapatan juga bisa menjadi pemicu yang sangat kuat. Kecanduan, seperti judi atau narkoba, juga sering kali menciptakan kebutuhan finansial yang mendesak dan konstan.

Dalam situasi seperti ini, individu merasa terpojok dan melihat kecurangan sebagai satu-satunya jalan keluar dari masalah keuangan pribadi mereka. Mereka merasa tidak punya pilihan lain untuk memenuhi kewajiban atau keinginan mereka.

Penerapan kontrol keuangan seperti cash opname dapat membantu perusahaan mendeteksi lebih awal potensi penyalahgunaan kas akibat tekanan semacam ini.

b. Tekanan Target Kerja yang Tidak Realistis

Tekanan tidak hanya bersifat pribadi, tetapi sering kali berasal dari lingkungan kerja, seperti target yang sulit dicapai. Manajemen yang menetapkan target yang tidak realistis dapat mendorong karyawan untuk melakukan tindakan tidak etis demi mencapai bonus, promosi, atau mempertahankan pekerjaan.

Dalam situasi ini, tekanan mendorong manajer atau akuntan untuk memalsukan data demi memenuhi ekspektasi. Fokus pada pencapaian target, bukan cara mencapainya, dapat menyebabkan fraud sistematis yang melibatkan banyak pihak.

c. Tekanan dari Lingkungan atau Atasan

Kadang-kadang, tekanan datang langsung dari atasan atau budaya perusahaan yang toksik. Seorang bawahan mungkin diperintahkan oleh manajernya untuk memanipulasi laporan atau menyembunyikan informasi negatif. Rasa takut kehilangan pekerjaan atau keinginan untuk loyal kepada atasan dapat membuat seseorang terpaksa melakukan tindakan yang mereka tahu salah.

Budaya “hasil di atas segalanya” juga bisa menciptakan tekanan kolektif di mana karyawan merasa harus berkompromi dengan nilai-nilai etika agar bisa diterima atau dianggap berkinerja baik. Dalam kasus seperti ini, tekanan untuk menyesuaikan diri dengan norma yang tidak etis menjadi pendorong utama terjadinya kecurangan.

2. Kesempatan (Opportunity)

Kesempatan merujuk pada adanya celah dalam sistem atau proses yang memungkinkan seseorang melakukan kecurangan. Celah ini memberi kesempatan untuk menyembunyikan tindakan tersebut dan mengambil keuntungan tanpa terdeteksi.

Berbeda dengan tekanan yang bersifat motivasional, kesempatan bersifat situasional. Tanpa adanya kesempatan, bahkan orang yang berada di bawah tekanan hebat pun tidak akan bisa melakukan fraud.

a. Lemahnya Kontrol Internal Perusahaan

Ini adalah sumber kesempatan yang paling signifikan. Kontrol internal yang lemah dapat mencakup banyak hal, seperti tidak adanya pemisahan tugas (segregation of duties), di mana satu orang memiliki kontrol atas beberapa bagian dari satu transaksi.

Misalnya, karyawan yang sama bertanggung jawab untuk mencatat pembayaran, menyetujui, dan melakukan pembayaran itu sendiri memiliki kesempatan besar untuk melakukan penggelapan. Kurangnya prosedur otorisasi yang jelas, rekonsiliasi akun yang tidak rutin, atau tidak adanya audit internal juga membuka pintu bagi fraud.

Ketika karyawan tahu bahwa tidak ada yang memeriksa pekerjaan mereka secara teliti, mereka merasa lebih berani untuk mengambil risiko. Masalah seperti selisih kas yang tidak pernah diinvestigasi secara serius dapat menjadi tanda awal dari kontrol internal yang sangat lemah.

b. Kurangnya Pengawasan (Lack of Oversight)

Manajemen yang tidak terlibat atau terlalu percaya pada bawahan menciptakan lingkungan yang matang untuk terjadinya fraud. Pengawasan yang efektif bukan berarti tidak percaya, melainkan bentuk verifikasi dan akuntabilitas.

Manajer yang tidak pernah meninjau laporan, mengajukan pertanyaan kritis, atau melakukan pemeriksaan mendadak memberikan sinyal bahwa tidak ada yang memperhatikan. Dewan direksi atau komite audit yang pasif juga berkontribusi pada kurangnya pengawasan di tingkat eksekutif.

Ketika pimpinan puncak tidak diawasi dengan baik, mereka memiliki kesempatan lebih besar untuk melakukan kecurangan laporan keuangan skala besar. Pengawasan yang kuat dari atas ke bawah adalah elemen krusial untuk menutup celah kesempatan.

c. Penyalahgunaan Wewenang dan Akses

Semakin tinggi posisi seseorang dalam organisasi, semakin besar wewenang dan akses yang mereka miliki terhadap aset dan sistem informasi. Eksekutif tingkat atas sering kali memiliki kemampuan untuk mengesampingkan (override) kontrol internal yang ada. Kemampuan override ini adalah kesempatan yang sangat berbahaya jika disalahgunakan.

Penerapan standar akuntansi pemerintah dapat membantu menetapkan prosedur pengendalian yang jelas dan akuntabel untuk mencegah penyalahgunaan tersebut. Selain itu, akses yang berlebihan terhadap sistem IT juga merupakan bentuk kesempatan.

Karyawan yang memiliki hak akses ke modul keuangan yang tidak relevan dengan pekerjaan mereka dapat mengeksploitasi akses tersebut. Oleh karena itu, prinsip hak akses minimum (principle of least privilege) sangat penting untuk diterapkan di seluruh organisasi.

3. Rasionalisasi (Rationalization)

Rasionalisasi adalah proses di mana pelaku membenarkan tindakan tidak etis agar sesuai dengan kode moral internal mereka. Hal ini memungkinkan pelaku yang menganggap dirinya jujur untuk meyakini bahwa tindakan curang dapat diterima dalam situasi tertentu.

a. Merasa Berhak

Pelaku sering kali merasa bahwa mereka telah diperlakukan tidak adil oleh perusahaan. Mereka mungkin berpikir, “Saya telah bekerja keras selama bertahun-tahun dan tidak pernah mendapat kenaikan gaji yang layak, jadi perusahaan berhutang pada saya.” Pemikiran ini mengubah tindakan pencurian di mata mereka menjadi bentuk “pengambilan hak” atau kompensasi informal.

Perasaan ini bisa dipicu oleh persepsi ketidakadilan, seperti dilewati untuk promosi atau merasa kontribusi mereka tidak dihargai. Dengan merasionalisasi tindakan mereka sebagai sesuatu yang pantas mereka dapatkan, mereka dapat mengurangi perasaan bersalah dan melanjutkan tindakan kecurangan mereka.

b. Merasa Terpaksa

Banyak pelaku fraud tidak menganggap diri mereka sebagai kriminal. Mereka sering kali membenarkan tindakan mereka dengan niat sementara, seperti, “Saya hanya meminjam uang ini, dan saya akan mengembalikannya setelah masalah keuangan saya selesai.” Tentu saja, niat untuk mengembalikan ini jarang sekali terwujud.

Justifikasi ini memungkinkan mereka untuk memisahkan tindakan mereka dari label “pencurian”. Mereka melihatnya sebagai solusi sementara untuk masalah mendesak, bukan sebagai kejahatan. Rasionalisasi “meminjam” ini adalah salah satu yang paling umum ditemui dalam kasus penggelapan aset oleh karyawan.

c. Menganggap Biasa

Ketika budaya etika dalam perusahaan lemah, karyawan mungkin melihat perilaku tidak jujur sebagai hal yang normal. Mereka mungkin berpikir, “Semua orang juga melakukannya, jadi tidak apa-apa jika saya melakukannya juga.” Rasionalisasi ini sering terjadi di lingkungan di mana kecurangan kecil, seperti melebih-lebihkan klaim biaya perjalanan, ditoleransi.

Sikap ini juga bisa muncul dari persepsi bahwa tindakan mereka tidak merugikan siapa pun secara langsung. Misalnya, memanipulasi laporan keuangan mungkin dianggap sebagai “permainan angka” yang tidak menyakiti individu nyata. Normalisasi perilaku tidak etis ini adalah tanda bahaya dari budaya perusahaan yang rusak dan perlu segera diperbaiki.

Strategi Pencegahan Berdasarkan Teori Fraud Triangle

Memahami ketiga elemen Fraud Triangle tidak akan ada artinya tanpa tindakan nyata untuk mencegahnya. Strategi pencegahan yang efektif harus dirancang untuk mengatasi setiap sisi segitiga secara simultan. Pendekatan holistik yang melibatkan manusia, proses, dan teknologi adalah cara terbaik untuk membangun pertahanan yang kuat terhadap risiko kecurangan.

Laporan dari Deloitte menunjukkan bahwa perubahan dalam lingkungan bisnis, seperti pandemi COVID-19, dapat memperburuk tekanan yang dihadapi oleh karyawan. Hal ini juga dapat mengubah kesempatan dan rasionalisasi dalam Fraud Triangle, mempengaruhi cara individu melihat dan merespons potensi kecurangan.

1. Ciptakan Lingkungan Kerja yang Mendukung

Strategi ini berfokus untuk mengurangi atau menghilangkan elemen “Tekanan” (Pressure) yang dialami oleh karyawan. Ketika perusahaan secara proaktif membantu karyawan mengelola tekanan mereka, motivasi untuk melakukan fraud dapat berkurang secara signifikan. Lingkungan kerja yang positif dan suportif adalah garis pertahanan pertama.

Beberapa langkah praktis yang dapat diambil antara lain:

  • Menyediakan program bantuan karyawan (employee assistance program/EAP): Program ini menawarkan layanan konseling rahasia untuk berbagai masalah pribadi, termasuk stres keuangan, masalah keluarga, atau kecanduan, yang merupakan sumber tekanan umum.
  • Memberi akses konseling finansial: Bekerja sama dengan perencaan dan cost control untuk memberikan seminar atau sesi konsultasi dapat membantu karyawan mengelola utang dan keuangan pribadi mereka dengan lebih baik.
  • Menetapkan target kerja yang realistis: Manajemen harus memastikan bahwa target kinerja dan bonus didasarkan pada metrik yang dapat dicapai secara etis. Ini akan mengurangi tekanan bagi karyawan untuk “memasak buku” demi mencapai tujuan yang mustahil.

Dengan mengakui bahwa karyawan adalah manusia dengan tantangan pribadi, perusahaan dapat membangun loyalitas dan mengurangi insentif bagi mereka untuk mencari jalan pintas yang merugikan. Komunikasi yang terbuka mengenai target dan ekspektasi juga sangat penting untuk menciptakan transparansi.

2. Perkuat Kontrol Internal Akuntansi

Fokus utama dari strategi ini adalah untuk menutup “Kesempatan” (Opportunity) dengan membangun sistem dan prosedur yang solid. Kontrol internal yang kuat bertindak sebagai penghalang fisik dan digital yang membuat pelaku sulit untuk melakukan dan menyembunyikan kecurangan, sekaligus menjaga konsistensi balance akuntansi dalam laporan keuangan.

Ini adalah aspek paling teknis namun krusial dalam pencegahan fraud.

Beberapa kontrol internal kunci yang harus diterapkan meliputi:

  • Melakukan audit internal rutin: Pemeriksaan berkala dan tak terduga oleh tim audit internal dapat mengidentifikasi kelemahan kontrol dan mendeteksi anomali sebelum menjadi masalah besar.
  • Memisahkan fungsi keuangan (segregation of duties): Pastikan tidak ada satu individu pun yang memiliki kendali penuh atas suatu proses keuangan dari awal hingga akhir. Misalnya, pisahkan tugas otorisasi, pencatatan, dan kustodi aset.
  • Menerapkan otorisasi ganda untuk transaksi besar: Setiap transaksi yang melebihi ambang batas tertentu harus memerlukan persetujuan dari dua orang yang berwenang. Hal ini mencegah penyalahgunaan wewenang oleh satu individu.

Proses rekonsiliasi bank yang cermat juga sangat penting untuk memastikan semua transaksi tercatat dengan benar dan tidak ada dana yang hilang. Mengelola item seperti outstanding check dengan teliti adalah bagian dari praktik kontrol yang baik. Penguatan kontrol internal mengirimkan pesan yang jelas bahwa setiap transaksi diawasi.

3. Bangun Budaya Etika dan Integritas

Strategi ini ditujukan untuk melawan elemen “Rasionalisasi” (Rationalization). Dengan membangun budaya perusahaan yang menjunjung tinggi etika dan integritas, akan lebih sulit bagi seseorang untuk membenarkan tindakan tidak jujur. Budaya etis harus dimulai dari puncak kepemimpinan (tone at the top).

Langkah-langkah untuk membangun budaya ini adalah sebagai berikut:

  • Mengadakan pelatihan etika bisnis tahunan: Pelatihan ini harus lebih dari sekadar formalitas, melainkan sesi interaktif yang membahas dilema etika dunia nyata yang relevan dengan pekerjaan karyawan.
  • Menerapkan kode perilaku perusahaan yang jelas: Setiap karyawan harus membaca, memahami, dan menandatangani kode etik yang menguraikan perilaku yang diharapkan dan konsekuensi dari pelanggaran.
  • Memberikan saluran whistleblowing yang aman dan anonim: Karyawan harus merasa aman untuk melaporkan dugaan pelanggaran tanpa takut akan pembalasan. Sistem ini adalah alat deteksi dini yang sangat efektif.

Manajemen harus secara konsisten menunjukkan komitmen terhadap etika melalui tindakan mereka, bukan hanya kata-kata. Transparansi dalam pelaporan, seperti menyusun laporan keuangan harian yang akurat, dapat menjadi contoh nyata dari komitmen ini. Ketika integritas menjadi nilai inti, rasionalisasi seperti “semua orang melakukannya” tidak akan lagi memiliki tempat.

Contoh Kasus Fraud dalam Konteks Keuangan dan Akuntansi

Untuk lebih memahami penerapan teori Fraud Triangle dalam dunia nyata, perhatikan beberapa contoh kasus fraud finansial yang umum terjadi di perusahaan. Setiap kasus ini menggambarkan bagaimana tekanan, kesempatan, dan rasionalisasi berinteraksi untuk mendorong individu yang awalnya jujur untuk melakukan tindakan kecurangan.

Dengan menganalisis kasus-kasus ini, Anda bisa memahami lebih dalam bagaimana ketiga elemen Fraud Triangle berinteraksi dalam skenario dunia nyata. Hal ini memberikan wawasan praktis yang dapat membantu kita dalam mendeteksi dan mencegah fraud di organisasi secara efektif.

1. Manipulasi Laporan Keuangan

Bayangkan sebuah perusahaan teknologi publik yang kinerjanya sedang menurun. CEO dan CFO perusahaan tersebut berada di bawah tekanan besar dari dewan direksi dan investor untuk memenuhi ekspektasi laba kuartalan. Kegagalan memenuhi target akan berisiko pada penurunan harga saham yang drastis dan kemungkinan pemecatan mereka.

  • Tekanan (Pressure): Tekanan yang sangat besar untuk mempertahankan harga saham, mengamankan bonus kinerja yang besar, dan menjaga reputasi profesional mereka di pasar.
  • Kesempatan (Opportunity): Sebagai eksekutif puncak, mereka memiliki wewenang untuk mengesampingkan kontrol internal. CFO memerintahkan tim akuntansi untuk mengakui pendapatan dari kontrak jangka panjang di muka, sebuah pelanggaran prinsip akuntansi yang jelas. Lemahnya pengawasan dari komite audit yang kurang berpengalaman memberikan mereka ruang gerak yang leluasa.
  • Rasionalisasi (Rationalization): Mereka meyakinkan diri sendiri dan timnya, “Ini hanya strategi akuntansi yang agresif untuk melewati kuartal yang sulit. Begitu penjualan pulih, kita akan memperbaikinya.” Mereka tidak melihatnya sebagai kebohongan, melainkan sebagai “manajemen laba” untuk kepentingan jangka panjang perusahaan.

2. Penggelapan Aset atau Kas

Seorang manajer akuntansi di sebuah perusahaan manufaktur menengah telah bekerja di sana selama 15 tahun dan sangat dipercaya. Namun, di kehidupan pribadinya, ia terjerat utang judi yang besar. Ia merasa putus asa dan membutuhkan uang tunai dengan cepat untuk membayar para penagih utang.

  • Tekanan (Pressure): Adanya utang pribadi yang mendesak dan ancaman bahaya fisik dari penagih utang. Ia merasa tidak bisa membicarakan masalah ini dengan siapa pun di perusahaan.
  • Kesempatan (Opportunity): Karena masa kerjanya yang panjang dan reputasinya yang baik, ia diberi tanggung jawab untuk menyetujui pembayaran vendor dan merekonsiliasi rekening bank. Kurangnya pemisahan tugas memberinya kesempatan sempurna. Ia menciptakan vendor fiktif di sistem, membuat faktur palsu, dan menyetujui pembayaran ke rekening bank yang ia kendalikan.
  • Rasionalisasi (Rationalization): Awalnya, ia berkata pada dirinya sendiri, “Saya hanya akan ‘meminjam’ sedikit dan akan mengembalikannya setelah saya menang besar.” Ketika ia terus kalah, rasionalisasinya berubah menjadi, “Perusahaan ini menghasilkan jutaan, mereka tidak akan rugi. Lagipula, saya sudah mengabdi begitu lama dengan gaji yang pas-pasan, saya pantas mendapatkan ini.”

3. Skema Faktur Fiktif

Seorang staf di departemen pengadaan (procurement) berkolusi dengan salah satu vendor lama perusahaan. Vendor tersebut setuju untuk menaikkan harga pada faktur sebesar 20% dari nilai sebenarnya. Staf pengadaan akan menyetujui faktur yang digelembungkan tersebut, dan sebagai imbalannya, vendor akan memberinya “uang kembali” atau kickback sebesar 10% dari nilai total faktur.

  • Tekanan (Pressure): Staf tersebut ingin membeli mobil baru dan membiayai liburan mewah untuk keluarganya, sesuatu yang tidak mampu ia lakukan dengan gajinya. Tekanan ini berasal dari keinginan untuk meningkatkan gaya hidupnya.
  • Kesempatan (Opportunity): Proses verifikasi di perusahaan tersebut lemah. Tidak ada pemeriksaan silang antara pesanan pembelian (purchase order), laporan penerimaan barang, jurnal khusus, dan faktur. Staf tersebut memiliki wewenang tunggal untuk menyetujui faktur dari vendor yang ia kelola, tanpa ada tinjauan dari tingkat yang lebih tinggi untuk transaksi di bawah nilai tertentu.
  • Rasionalisasi (Rationalization): Ia membenarkan tindakannya dengan berpikir, “Ini adalah praktik bisnis yang umum, semua orang melakukannya. Selain itu, vendor tetap memberikan layanan yang baik, dan perusahaan mampu membayarnya. Ini bukan mencuri, ini hanya komisi.”

Cegah Fraud Keuangan dengan Software Akuntansi ScaleOcean

Cegah Fraud Keuangan dengan Software Akuntansi ScaleOcean

Kecurangan dalam organisasi seringkali menjadi ancaman besar yang tidak hanya merugikan secara finansial, tetapi juga merusak reputasi perusahaan. Tekanan untuk berbuat curang muncul dari target yang tidak realistis, kesempatan dari kontrol internal yang lemah, dan rasionalisasi saat pelaku merasa tindakannya dibenarkan.

Software Akuntansi ScaleOcean dapat mengintegrasikan seluruh sistem keuangan dalam satu platform. Dengan fitur modular dan kontrol yang baik, software ini mengurangi potensi penyalahgunaan wewenang dan kesalahan manusia. Keunggulannya termasuk biaya flat tanpa biaya tersembunyi, kustomisasi tinggi, dan integrasi mulus antar modul untuk transparansi dan kontrol data

Software ini mendukung pengendalian kecurangan dengan fitur yang fokus pada pencegahan elemen-elemen fraud triangle. Segregation of duties mengurangi kesempatan kecurangan, sementara audit trail dan real-time monitoring memungkinkan deteksi cepat. Fitur approval workflows dan role-based access control memastikan pengawasan yang tepat.

ScaleOcean juga menawarkan demo gratis serta konsultasi gratis untuk Anda. Berikut ini adalah beberapa macam fitur yang akan Anda temui di software ini:

  • Audit Trail: Fitur ini melacak semua tindakan dalam sistem, termasuk perubahan dan persetujuan transaksi, untuk memastikan transparansi dan mendeteksi tindakan yang tidak sah serta mengidentifikasi pelakunya.
  • Role-Based Access Control (RBAC): Sistem ini membatasi hak akses berdasarkan peran pengguna, sehingga hanya orang yang memerlukannya yang dapat mengakses informasi, mengurangi risiko kecurangan akibat akses yang tidak sah.
  • Approval Workflows: ScaleOcean mengotomatiskan alur persetujuan untuk transaksi dan pengeluaran penting, memerlukan verifikasi ganda sebelum tindakan dilanjutkan, sehingga kecurangan dapat terdeteksi lebih awal.
  • Segregation of Duties (SoD): ScaleOcean membagi tanggung jawab dalam organisasi dengan membatasi akses dan tanggung jawab individu terhadap proses yang berisiko, meminimalkan peluang kecurangan.
  • Transaction Limits and Alerts: ScaleOcean menetapkan batas transaksi untuk mencegah pengeluaran yang tidak sah, serta mengirimkan notifikasi jika ada transaksi yang melebihi batas atau aktivitas yang mencurigakan.

Kesimpulan

Fraud Triangle membantu perusahaan memahami penyebab kecurangan melalui tiga elemen, tekanan, kesempatan, dan rasionalisasi. Dengan mengelola ketiga faktor ini, perusahaan dapat mengidentifikasi dan mencegah potensi fraud, menciptakan lingkungan yang tidak kondusif bagi kecurangan.

Software Akuntansi ScaleOcean mencegah kecurangan dengan pengendalian internal kuat, seperti segregation of duties, audit trail, dan real-time monitoring. Sistem terintegrasi dan mudah dikustomisasi meningkatkan pengawasan, transparansi, dan keamanan. Vendor ini juga menawarkan demo gratis dan konsultasi gratis untuk Anda yang tertarik dalam mengimplementasikan sistem ini.

FAQ:

1. Apa saja tiga elemen dalam fraud triangle?

Tiga elemen utama dalam Fraud Triangle adalah tekanan (pressure), kesempatan (opportunity), dan rasionalisasi (rationalization), yang bersama-sama menyebabkan seseorang melakukan kecurangan.

2. Apakah fraud triangle masih relevan?

Ya, Fraud Triangle tetap relevan karena memberikan wawasan mendalam tentang penyebab kecurangan dalam organisasi, meskipun di era digital kini, elemen-elemen tersebut tetap berlaku.

3. Apa yang tidak termasuk dalam fraud triangle?

Fraud Triangle tidak mencakup faktor eksternal seperti lingkungan sosial atau tekanan ekonomi yang tidak langsung mempengaruhi individu dalam organisasi.

4. Apa contoh rasionalisasi dalam fraud triangle?

Contoh rasionalisasi adalah ketika pelaku merasa berhak atas keuntungan pribadi, misalnya dengan berpikir “Saya hanya meminjam, akan saya kembalikan nanti.”

Jadwalkan Demo Gratis

Error message
Error message
Error message
Error message
Error message
Error message

Rekomendasi Artikel Terkait

Temukan Artikel Serupa untuk Solusi Bisnis Lebih Lengkap