10 Hak Cuti Karyawan dan Regulasi yang Berlaku

ScaleOcean Team
Posted on
Share artikel ini

Hak cuti karyawan adalah salah satu aspek krusial dalam hubungan kerja yang sehat dan produktif. Lebih dari sekadar fasilitas tambahan, cuti merupakan hak mendasar yang dijamin oleh undang-undang ketenagakerjaan di Indonesia.

Tujuannya adalah untuk memastikan kesejahteraan fisik dan mental pekerja, memberikan mereka waktu untuk beristirahat, memulihkan tenaga, dan menjaga keseimbangan antara kehidupan pribadi dan profesional.

Memahami secara mendalam tentang aturan cuti, mulai dari jenis-jenisnya, dasar hukum yang melandasi, hingga cara perhitungannya, adalah hal yang wajib bagi setiap perusahaan. Dengan menerapkan kebijakan cuti yang jelas dan sesuai undang-undang, perusahaan dapat meningkatkan kepuasan karyawan dan mengurangi tingkat burnout karyawan

Artikel ini akan membahas secara komprehensif semua aspek yang perlu Anda ketahui mengenai hak cuti karyawan di Indonesia mulai dari pengertian, regulasi, jenis, manajemen yang efektif, hingga sanksi yang didapat jika melanggarnya.

starsKey Takeaways
  • Hak cuti karyawan adalah hak fundamental yang diatur oleh undang-undang untuk menjamin istirahat dan pemulihan, bukan sekadar fasilitas dari perusahaan.
  • Regulasi utama yang mengatur cuti hak karyawan di Indonesia adalah UU Ketenagakerjaan No. 13/2003 dan perubahannya di UU Cipta Kerja No. 11/2020 menjadi acuan utama setiap perusahaan.
  • Manajemen cuti yang efektif sangat penting untuk menjaga kepatuhan hukum, meningkatkan produktivitas, dan mencegah burnout di kalangan karyawan.
  • Perusahaan yang melanggar ketentuan hak cuti dapat dikenai sanksi pidana kurungan dan denda yang signifikan.
  • Otomatisasi pengelolaan cuti dengan software HR ScaleOcean memastikan kepatuhan, menyederhanakan proses, dan memberikan data akurat untuk pengambilan keputusan strategis.

Coba Demo Gratis!

requestDemo

Apa Itu Hak Cuti Karyawan?

Hak cuti karyawan adalah hak dasar yang diberikan kepada pekerja untuk beristirahat sesuai dengan aturan ketenagakerjaan. Hak ini meliputi cuti tahunan minimal 12 hari kerja setelah bekerja 12 bulan, cuti sakit, cuti melahirkan dan keguguran, cuti haid, cuti bersama, cuti besar (setelah 6 tahun bekerja), serta cuti karena alasan penting.

Human Resource Audit (HRA) sering kali menyoroti area ini untuk memastikan kepatuhan. Pemenuhan hak cuti merupakan cerminan komitmen perusahaan terhadap kesejahteraan sumber daya manusianya. Secara mendasar, cuti bukanlah hadiah atau bonus yang diberikan atas kebijakan, melainkan kewajiban yang harus dipenuhi oleh pemberi kerja.

Pemberian waktu istirahat yang cukup terbukti secara langsung dapat meningkatkan moral, loyalitas, dan produktivitas karyawan dalam jangka panjang. Oleh karena itu, pengelolaan cuti yang baik menjadi elemen krusial dalam strategi manajemen talenta. Pemberian hak cuti juga merupakan bagian integral dari employee benefit yang kompetitif.

Perusahaan yang proaktif, contohnya menerapkan software pengajuan cuti, dalam mengelola dan mengomunikasikan kebijakan cuti cenderung memiliki tingkat retensi karyawan yang lebih tinggi. Kesejahteraan holistik karyawan, yang mencakup kesehatan fisik dan mental, dimulai dari pemenuhan hak-hak dasar seperti cuti.

Dasar Hukum Hak Cuti Karyawan di Indonesia

Dasar Hukum Hak Cuti Karyawan di Indonesia

Hak cuti karyawan menurut UU tenaga kerja di Indonesia secara komprehensif diatur dalam kerangka hukum ketenagakerjaan nasional. Landasan utamanya adalah Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang telah lama menjadi acuan utama bagi praktik HR di seluruh negeri.

Undang-undang ini secara rinci menetapkan berbagai jenis cuti yang menjadi hak pekerja, mulai dari cuti tahunan hingga cuti khusus lainnya. Pemerintah juga mengesahkan Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, yang kemudian diperbarui melalui Perppu No. 2 Tahun 2022 dan disahkan menjadi UU No. 6 Tahun 2023.

Regulasi baru ini mengubah beberapa ketentuan dalam UU Ketenagakerjaan, termasuk beberapa aspek terkait hak cuti. Perubahan ini menuntut para profesional HR dan pimpinan perusahaan untuk memahami kembali kewajiban mereka agar tetap patuh. Selain kedua undang-undang tersebut, aturan turunan Peraturan Pemerintah (PP) juga memberikan panduan lebih detail.

Sebagai contoh, PP No. 35 Tahun 2021 menjelaskan lebih lanjut mengenai pelaksanaan perjanjian kerja, termasuk hak istirahat dan cuti bagi karyawan dengan status Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dan Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT).

Prosedur Pengajuan Cuti 

Selain memahami jenis dan dasar hukum, aspek operasional seperti prosedur pengajuan dan metode perhitungan cuti juga tidak kalah penting. Menetapkan alur yang jelas dan sistem manajemen cuti yang akurat akan meminimalkan potensi konflik dan memastikan proses administrasi berjalan efisien.

Berikut merupakan prosedur dan perhitungan untuk menghitung cuti karyawan: 

1. Menentukan Jenis Cuti

Karyawan harus menentukan jenis cuti yang akan diambil sesuai dengan kebutuhan dan hak cuti yang tersedia, seperti cuti tahunan, sakit, atau cuti lainnya. Pemilihan jenis cuti yang tepat sangat penting agar pengajuan sesuai dengan kebijakan perusahaan dan memenuhi kebutuhan pribadi karyawan.

2. Menghitung Jumlah Hari Cuti

Setelah memilih jenis cuti, karyawan harus menghitung jumlah hari cuti yang akan diambil, memastikan jumlah tersebut sesuai dengan sisa jatah cuti yang dimiliki. Proses ini penting untuk memastikan bahwa pengajuan cuti tidak melebihi hak yang tersedia, sesuai dengan ketentuan perusahaan.

3. Menentukan Tanggal Cuti

Karyawan perlu menentukan tanggal mulai dan berakhirnya cuti, serta memastikan tanggal tersebut tidak mengganggu operasional perusahaan. Pemilihan tanggal yang tepat membantu mengatur alokasi sumber daya dan meminimalkan gangguan dalam kelancaran pekerjaan tim atau departemen terkait.

4. Mengisi Formulir Pengajuan Cuti

Karyawan harus mengisi formulir pengajuan cuti yang disediakan perusahaan dengan lengkap dan jelas, mencantumkan informasi terkait jenis cuti, tanggal, serta alasan pengajuan. Pengisian formulir yang akurat mempermudah proses persetujuan dan memastikan bahwa permohonan dapat diproses secara tepat.

5. Mengajukan Formulir kepada Atasan

Setelah formulir diisi, karyawan mengajukan formulir pengajuan cuti kepada atasan langsung untuk mendapatkan persetujuan. Proses ini penting agar atasan dapat memverifikasi pengajuan cuti dan memastikan bahwa pengajuan tidak akan mengganggu kelancaran operasional perusahaan.

6. Evaluasi Pengajuan oleh Atasan

Atasan akan mengevaluasi pengajuan cuti berdasarkan kebijakan perusahaan dan mempertimbangkan faktor-faktor operasional yang mempengaruhi kelancaran tugas. Evaluasi ini memastikan bahwa keputusan persetujuan atau penolakan didasarkan pada pertimbangan yang matang dan sesuai dengan kebutuhan perusahaan.

7. Keputusan Atasan

Atasan kemudian mengambil keputusan terkait pengajuan cuti, apakah disetujui atau ditolak, dan memberi tahu karyawan tentang keputusan tersebut. Keputusan ini memastikan adanya transparansi dalam proses pengajuan cuti dan memungkinkan karyawan untuk merencanakan cuti mereka sesuai dengan ketentuan yang ada.

Penggunaan Human Resource Information System (HRIS) dapat mengotomatiskan seluruh alur ini, mulai dari pengajuan, persetujuan, hingga pembaruan sisa cuti secara real-time.

Pentingnya Manajemen Cuti bagi Kepatuhan Perusahaan dan Kesejahteraan Karyawan

Manajemen cuti yang efektif bukan hanya soal administrasi, tetapi merupakan pilar strategis yang menopang kepatuhan hukum dan kesehatan organisasi. Dengan mengelola cuti secara sistematis, perusahaan memastikan bahwa semua hak karyawan dipenuhi sesuai dengan peraturan yang berlaku, sehingga terhindar dari risiko sanksi hukum dan denda.

Kepatuhan regulasi adalah fondasi utama yang melindungi reputasi dan keberlangsungan bisnis. Dari perspektif kesejahteraan karyawan, manajemen cuti yang baik memainkan peran vital dalam mencegah burnout dan menjaga kesehatan mental tim. Karyawan yang mendapatkan waktu istirahat yang cukup cenderung lebih termotivasi, kreatif, dan produktif.

Hal ini secara langsung berdampak pada peningkatan kinerja individu dan tim, serta menciptakan lingkungan kerja yang positif dan suportif. Pengelolaan cuti yang terstruktur, yang tercatat dalam laporan absensi karyawan, juga membantu perusahaan dalam merencanakan alokasi sumber daya manusia sehingga operasional bisnis tetap berjalan tanpa gangguan.

Penggunaan sistem informasi SDM modern dapat sangat membantu dalam proses ini, memberikan visibilitas penuh terhadap jadwal cuti di seluruh departemen. Secara keseluruhan, manfaat dari manajemen cuti yang baik meliputi:

  • Menjamin Kepatuhan Hukum: Memastikan perusahaan mematuhi UU Ketenagakerjaan dan UU Cipta Kerja, menghindari sanksi dan litigasi yang merugikan.
  • Meningkatkan Kesejahteraan dan Produktivitas: Memberikan karyawan waktu untuk beristirahat dan memulihkan diri, yang terbukti meningkatkan moral, fokus, dan produktivitas.
  • Mendukung Perencanaan Tenaga Kerja: Memungkinkan manajer untuk merencanakan jadwal dan distribusi beban kerja secara efektif, menjaga kelancaran operasional.
  • Membangun Citra Perusahaan yang Positif: Menunjukkan bahwa perusahaan peduli terhadap kesejahteraan karyawannya, yang dapat meningkatkan daya tarik bagi talenta dan memperkuat loyalitas tim.

Jenis-jenis Hak Cuti Karyawan yang Wajib Diketahui HR

Jenis-jenis Hak Cuti Karyawan yang Wajib Diketahui HR

Memahami berbagai jenis hak cuti karyawan adalah tanggung jawab fundamental bagi setiap praktisi HR dan pengambil keputusan di perusahaan. Setiap jenis cuti memiliki dasar hukum, durasi, dan ketentuan yang berbeda, sehingga pengelolaannya memerlukan ketelitian. Berikut adalah rincian lengkap mengenai jenis-jenis cuti yang diatur dalam UU:

1. Cuti Tahunan

Cuti tahunan adalah hak istirahat yang paling umum dikenal dan menjadi hak setiap karyawan yang telah bekerja selama 12 bulan secara terus-menerus (hak cuti karyawan dalam setahun) . Menurut Pasal 79 ayat (3) UU Cipta Kerja, perusahaan wajib memberikan waktu istirahat tahunan paling sedikit 12 hari kerja.

Hak ini bertujuan untuk memberikan kesempatan kepada karyawan untuk beristirahat dari rutinitas pekerjaan tahunan. Pelaksanaan cuti tahunan harus diatur dalam Peraturan Perusahaan (PP), Perjanjian Kerja (PK), atau Perjanjian Kerja Bersama (PKB). Perusahaan tidak diperkenankan untuk menolak pengajuan cuti tahunan tanpa alasan yang jelas.

Jika hak cuti tahunan tidak diambil hingga masa berlakunya habis, beberapa perusahaan memiliki kebijakan untuk memberikan kompensasi dalam bentuk uang, meskipun praktik ini harus diatur secara eksplisit dalam peraturan internal perusahaan.

2. Cuti Besar (Istirahat Panjang)

Cuti besar atau istirahat panjang merupakan hak yang diberikan kepada karyawan dengan masa kerja yang sudah lama, biasanya sebagai bentuk penghargaan atas loyalitas mereka. Sebelum adanya UU Cipta Kerja, UU Ketenagakerjaan No. 13/2003 mewajibkan perusahaan memberikan istirahat panjang sekurangnya 2 bulan bagi karyawan yang telah bekerja selama 6 tahun.

Ketentuan ini berlaku kelipatan setiap 6 tahun masa kerja berikutnya. Namun, setelah berlakunya UU Cipta Kerja, ketentuan mengenai cuti besar mengalami perubahan signifikan. Kini, istirahat panjang tidak lagi menjadi kewajiban yang diatur secara eksplisit dalam undang-undang, melainkan dapat diatur lebih lanjut dalam perjanjian kerja.

3. Cuti Haji atau Umroh

Cuti ini diatur dalam Peraturan Perusahaan (PP) atau Perjanjian Kerja Bersama (PKB), bukan secara eksplisit diwajibkan oleh UU Ketenagakerjaan. Hak ini diberikan kepada karyawan Muslim yang ingin melaksanakan ibadah Haji atau Umroh ke Tanah Suci.

Durasi cuti haji biasanya cukup lama, berkisar antara 40 hingga 50 hari tergantung paket perjalanan. Pemberian cuti haji umumnya hanya diberikan satu kali selama masa kerja dan biasanya tidak memotong cuti tahunan karyawan.

4. Cuti Sakit

Setiap karyawan yang tidak dapat bekerja karena sakit berhak atas cuti sakit dengan tetap menerima upah. Untuk memperoleh hak ini, karyawan umumnya diwajibkan untuk memberikan surat keterangan sakit. Durasi cuti sakit tidak dibatasi secara spesifik, namun kompensasi upahnya diatur secara bertahap berdasarkan lamanya karyawan absen karena sakit.

Berdasarkan Pasal 93 ayat (2) UU Ketenagakerjaan, skema pembayaran upah selama cuti sakit adalah sebagai berikut 100% dari upah untuk 4 bulan pertama, 75% untuk 4 bulan kedua, 50% untuk 4 bulan ketiga, dan 25% untuk bulan-bulan selanjutnya sebelum adanya pemutusan hubungan kerja.

Perusahaan dilarang keras melakukan PHK terhadap karyawan dengan alasan sakit dalam jangka waktu yang belum melampaui 12 bulan, karena hal tersebut merupakan pelanggaran terhadap hak pekerja.

5. Cuti Melahirkan dan Keguguran

Karyawan perempuan berhak mendapatkan cuti melahirkan untuk mempersiapkan persalinan dan memulihkan kondisi pasca melahirkan. Sesuai dengan Pasal 82 UU Ketenagakerjaan, durasi cuti melahirkan adalah 3 bulan penuh, yang dapat diambil 1,5 bulan sebelum dan 1,5 bulan sesudah melahirkan, atau sesuai dengan perhitungan dokter kandungan.

Selama periode cuti ini, karyawan berhak atas upah penuh. Selain cuti melahirkan, karyawan perempuan yang mengalami keguguran kandungan juga dilindungi oleh hukum dan berhak atas waktu istirahat.

Durasi cuti keguguran adalah 1,5 bulan atau sesuai dengan surat keterangan dokter atau bidan. Hak ini memastikan bahwa karyawan perempuan memiliki waktu yang cukup untuk pemulihan fisik dan psikologis tanpa harus khawatir kehilangan pekerjaan atau upah.

ERP

6. Cuti Ayah

Cuti Ayah atau cuti pendampingan istri melahirkan adalah hak yang diberikan kepada suami / karyawan laki-laki untuk mendampingi istrinya saat melahirkan atau mengalami keguguran. Hak ini dijamin oleh Pasal 93 ayat (4) UU Ketenagakerjaan yang mengatur cuti alasan penting.

Durasi cuti pendampingan istri melahirkan yang wajib diberikan oleh perusahaan adalah 2 hari kerja. Cuti ini dibayar penuh oleh perusahaan dan bertujuan untuk memberikan dukungan penuh kepada keluarga saat momen kelahiran.

7. Cuti Menikah

Cuti menikah adalah hak yang diberikan kepada karyawan untuk mengurus dan merayakan pernikahan mereka. Cuti ini diatur sebagai Cuti Alasan Penting di dalam Pasal 93 ayat (4) UU Ketenagakerjaan.

Karyawan yang menikah berhak mendapatkan cuti dengan upah penuh selama 3 hari kerja. Cuti menikah merupakan kewajiban yang harus dipenuhi oleh perusahaan dan tidak boleh dipotong dari jatah cuti tahunan.

8. Cuti Haid

Meskipun sering menjadi perdebatan dalam praktiknya, hak cuti haid diatur secara jelas dalam Pasal 81 UU Ketenagakerjaan. Karyawan perempuan yang merasakan sakit pada hari pertama dan kedua masa haid berhak untuk tidak bekerja. Pemberian cuti haid ini bertujuan untuk mengakomodasi kondisi biologis yang dapat mengganggu produktivitas kerja.

Untuk pelaksanaannya, perusahaan biasanya meminta pemberitahuan dari karyawan yang bersangkutan tanpa mewajibkan surat keterangan dokter, kecuali jika diatur lain dalam PP atau PKB. Namun, dalam praktiknya, banyak perusahaan yang menggabungkan kebijakan ini dengan cuti sakit atau tidak menerapkannya secara eksplisit.

9. Cuti Alasan Penting

Cuti alasan penting diberikan kepada karyawan untuk keperluan pribadi yang mendesak dan tidak dapat dihindari. Pasal 93 ayat (4) UU Ketenagakerjaan merinci beberapa kondisi yang termasuk dalam kategori ini, dengan durasi cuti yang bervariasi. Pemberian cuti ini bersifat wajib dan karyawan tetap berhak atas upah penuh.

Beberapa contoh alasan penting yang diatur meliputi:

  • Pernikahan Karyawan (diberikan cuti 3 hari)
  • Pernikahan Anak Karyawan (2 hari)
  • Khitanan/Baptis Anak (2 hari)
  • Istri Melahirkan atau Keguguran (2 hari)
  • Kematian Anggota Keluarga Inti  (suami/istri, orang tua/mertua, anak/menantu (2 hari)

Perusahaan dapat menambahkan jenis alasan penting lainnya dalam peraturan internalnya sesuai dengan kebutuhan dan kebijakan.

10. Cuti Bersama

Cuti bersama adalah hari libur yang ditetapkan oleh pemerintah dan biasanya berdekatan dengan hari libur nasional atau hari raya keagamaan. Kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas hari kerja serta mendorong pariwisata domestik. Sifat cuti bersama adalah memotong jatah cuti tahunan karyawan.

Jika seorang karyawan mengambil cuti bersama, maka jumlah hari yang diambil akan dikurangkan dari total sisa cuti tahunannya. Namun, jika karyawan memutuskan untuk tetap masuk kerja pada hari cuti bersama (sesuai kesepakatan dengan perusahaan), maka hak cuti tahunannya tidak akan berkurang.

Perbandingan UU Ketenagakerjaan vs UU Cipta Kerja

Kehadiran UU Cipta Kerja membawa sejumlah perubahan signifikan terhadap lanskap ketenagakerjaan di Indonesia, termasuk dalam hal hak cuti. Memahami perbedaan antara kerangka hukum yang lama (UU No. 13/2003) dan yang baru (UU No. 11/2020 beserta perubahannya) sangat krusial bagi perusahaan untuk dapat menyesuaikan kebijakan internalnya.

1. Perbedaan Utama terkait Aturan Cuti Besar dan Hak Lainnya

Perbedaan yang paling menonjol antara kedua undang-undang tersebut terletak pada pengaturan istirahat panjang atau cuti besar. Dalam UU Ketenagakerjaan No. 13/2003, cuti besar selama 2 bulan setelah bekerja 6 tahun bersifat wajib bagi perusahaan yang telah menerapkannya.

Namun, UU Cipta Kerja mengubah pasal terkait, menyatakan bahwa istirahat panjang dapat diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan (PP), atau Perjanjian Kerja Bersama (PKB). Perubahan ini secara efektif menjadikan cuti besar sebagai hak yang bersifat opsional, bergantung pada kesepakatan antara perusahaan dan pekerja.

Selain itu, UU Cipta Kerja juga lebih menekankan fleksibilitas waktu kerja, yang secara tidak langsung dapat memengaruhi cara cuti diatur dan diambil. Meskipun hak-hak cuti mendasar seperti cuti tahunan, sakit, dan melahirkan tetap dipertahankan, fleksibilitas baru pada cuti besar ini menjadi poin utama yang harus diperhatikan oleh perusahaan.

2. Implikasi Perubahan UU terhadap Peraturan Perusahaan (PP) dan Perjanjian Kerja Bersama (PKB)

Perubahan regulasi ini secara langsung berimplikasi pada dokumen-dokumen hukum internal perusahaan. Perusahaan kini memiliki keleluasaan untuk menegosiasikan atau menetapkan sendiri kebijakan cuti besar dalam PP atau PKB mereka.

Ini berarti perusahaan harus proaktif meninjau kembali dan memperbarui dokumen-dokumen tersebut agar selaras dengan UU Cipta Kerja. Jika PP atau PKB yang ada saat ini masih merujuk pada ketentuan UU Ketenagakerjaan yang lama mengenai cuti besar, perusahaan perlu melakukan penyesuaian.

Proses ini harus melibatkan komunikasi yang transparan dengan serikat pekerja atau perwakilan karyawan untuk mencapai kesepakatan yang adil. Kegagalan dalam memperbarui PP atau PKB dapat menimbulkan ketidakpastian hukum dan potensi sengketa di kemudian hari.

Hak Cuti Berdasarkan Status Karyawan

Hak cuti karyawan full time dan kontrak.

Status kepegawaian seorang karyawan, apakah sebagai karyawan tetap (PKWTT) atau karyawan kontrak (PKWT), memengaruhi beberapa aspek dalam perhitungan dan penerapan hak cuti. Meskipun hak-hak dasar berlaku untuk semua, terdapat perbedaan teknis yang penting untuk dipahami oleh HR.

Pengetahuan ini memastikan bahwa perusahaan menerapkan kebijakan cuti secara adil dan sesuai dengan hukum yang berlaku untuk setiap kategori karyawan.

1. Hak Cuti Karyawan Tetap (PKWTT)

Karyawan dengan status Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) atau karyawan tetap berhak atas seluruh jenis cuti yang diatur dalam undang-undang, antara lain:

  • Cuti Tahunan: 12 hari kerja setelah bekerja 12 bulan secara berkelanjutan.
  • Cuti Sakit
  • Cuti Melahirkan
  • Cuti karena Alasan Penting Lainnya
  • Cuti Besar: Tergantung pada Peraturan Perusahaan (PP) atau Perjanjian Kerja Bersama (PKB).

Stabilitas hubungan kerja pada karyawan PKWTT memastikan mereka dapat merencanakan dan memanfaatkan hak cuti jangka panjang dengan lebih baik.

2. Hak Cuti Karyawan Kontrak (PKWT)

Salah satu pertanyaan yang sering muncul adalah mengenai hak cuti karyawan kontrak. Berdasarkan PP No. 35 Tahun 2021, karyawan dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) juga berhak atas hak cuti. Hak-hak ini umumnya sama dengan karyawan tetap, meskipun ada beberapa perbedaan dalam pelaksanaannya.

Berikut adalah hak cuti untuk karyawan kontrak yang diatur oleh undang-undang:

  • Cuti Tahunan: Perhitungan hak cuti mereka dilakukan secara proporsional berdasarkan masa kerja yang telah dijalani.
  • Cuti Sakit
  • Cuti Melahirkan/Keguguran
  • Cuti Karena Alasan Penting

Rumus perhitungan prorata yang umum digunakan adalah:

(Jumlah bulan bekerja / 12 bulan) x 12 hari

Sebagai contoh, seorang karyawan kontrak yang telah bekerja selama 6 bulan berhak atas (6/12) x 12 = 6 hari cuti tahunan. Penting untuk dicatat bahwa hak cuti ini harus diberikan oleh perusahaan dan tidak boleh diabaikan hanya karena status kontrak karyawan tersebut.

Contoh Perhitungan Cuti Karyawan

Uang Penggantian Hak (UPH) untuk cuti tahunan yang belum diambil hanya dapat diberikan dalam kondisi tertentu, yaitu ketika terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK). Hal ini diatur dalam Pasal 87 PP No. 35 Tahun 2021. Perusahaan tidak diwajibkan untuk menguangkan sisa cuti karyawan yang masih aktif bekerja, kecuali jika diatur lain dalam PP atau PKB.

Jika seorang karyawan di-PHK dan masih memiliki sisa cuti, perhitungannya adalah:

(Sisa hari cuti / jumlah hari kerja dalam sebulan) x upah sebulan (gaji pokok dan tunjangan tetap)

Misalnya, jika sisa cuti adalah 5 hari, hari kerja sebulan adalah 22 hari, dan upah sebulan Rp 11.000.000, maka UPH cuti adalah (5/22) x Rp 11.000.000 = Rp 2.500.000. Perhitungan ini mirip dengan prinsip menghitung gaji prorata, di mana pembayaran didasarkan pada proporsi waktu yang relevan.

Sanksi bagi Perusahaan yang Melanggar Aturan Hak Cuti

Ketidakpatuhan terhadap peraturan hak cuti karyawan bukanlah pelanggaran ringan dan dapat membawa konsekuensi hukum yang serius bagi perusahaan. Pemerintah, melalui instrumen hukum ketenagakerjaan, menetapkan sanksi tegas untuk memastikan bahwa hak-hak dasar pekerja dilindungi.

Berdasarkan Pasal 187 UU Ketenagakerjaan No. 13/2003, perusahaan yang dengan sengaja tidak memberikan waktu istirahat dan cuti kepada karyawannya dapat dikenai sanksi pidana. Sanksi yang dijatuhkan adalah pidana kurungan paling singkat 1 bulan dan paling lama 12 bulan, dan/atau denda paling sedikit Rp 10.000.000 dan paling banyak Rp 100.000.000.

Ancaman sanksi ini seharusnya menjadi pengingat kuat bagi setiap pimpinan perusahaan dan manajer HR untuk selalu memprioritaskan pemenuhan hak cuti. Selain kerugian finansial akibat denda, sanksi pidana dapat merusak reputasi perusahaan secara permanen. Oleh karena itu, investasi pada sistem manajemen HR yang baik adalah langkah preventif yang bijaksana untuk menghindari risiko hukum yang mahal.

Solusi software HR ScaleOcean dirancang untuk menyederhanakan dan mengotomatiskan seluruh siklus manajemen cuti. Dari pengajuan online, persetujuan berjenjang, hingga perhitungan sisa cuti yang akurat dan real-time, software ini memastikan perusahaan Anda selalu patuh dan efisien.

Kesimpulan

Pemahaman yang mendalam mengenai hak cuti karyawan adalah kunci untuk menciptakan lingkungan kerja yang patuh hukum, adil, dan produktif. Dari cuti tahunan, cuti sakit, hingga cuti besar yang kini bersifat opsional, setiap kebijakan harus selaras dengan UU Ketenagakerjaan dan UU Cipta Kerja.

Mengelola semua aspek ini mulai dari prosedur pengajuan, perhitungan prorata untuk karyawan kontrak, hingga memastikan kepatuhan untuk menghindari sanksi pidana merupakan tantangan administratif yang kompleks. Manajemen cuti yang efektif tidak hanya melindungi perusahaan dari risiko hukum, tetapi juga berfungsi mampu meningkatkan loyalitas karyawan.

Di era digital saat ini, mengandalkan proses manual untuk mengelola hak cuti yang krusial ini tidak lagi efisien dan rentan terhadap kesalahan. Inilah saatnya untuk beralih ke solusi yang lebih cerdas dan terintegrasi. Jadwalkan demo gratis dan konsultasi dengan tim ahli kami untuk lebih mengenal tentang software  HR ScaleOcean yang dapat mempermudah bisnis anda.

FAQ:

1. Kapan karyawan mendapatkan hak cuti?

Karyawan berhak atas cuti setelah memenuhi masa kerja tertentu. Untuk cuti tahunan, hak cuti diberikan setelah bekerja 12 bulan berturut-turut dengan 12 hari kerja. Cuti sakit diberikan jika karyawan tidak dapat bekerja karena sakit dengan surat dokter, sedangkan cuti melahirkan berlaku mulai 1,5 bulan kehamilan hingga 1,5 bulan setelah melahirkan.

2. UU Cipta Kerja tentang hak cuti Pasal Berapa?

Ketentuan hak cuti diatur dalam Pasal 81 angka 25 UU Cipta Kerja yang merevisi Pasal 79 UU Ketenagakerjaan. Pengusaha wajib memberikan cuti tahunan minimal 12 hari kerja setelah karyawan bekerja selama 12 bulan berturut-turut. Cuti panjang menjadi hak opsional yang bisa diatur lebih lanjut melalui perjanjian kerja atau peraturan perusahaan.

3. Apakah atasan boleh menolak cuti?

Karyawan perlu mengajukan cuti terlebih dahulu pada atasan, yang memiliki hak untuk menolak permohonan cuti. Penolakan cuti bisa disebabkan oleh kebutuhan operasional perusahaan atau alasan lainnya yang relevan dengan situasi kerja.

4. Apakah cuti dipotong gaji?

Cuti tahunan, cuti besar, atau cuti melahirkan tidak dipotong gaji karena perusahaan wajib membayar upah penuh. Namun, untuk cuti tidak dibayar (unpaid leave), gaji akan dipotong karena karyawan tidak bekerja selama masa cuti tersebut sesuai ketentuan perusahaan.

Jadwalkan Demo Gratis

Error message
Error message
Error message
Error message
Error message
Error message

Rekomendasi Artikel Terkait

Temukan Artikel Serupa untuk Solusi Bisnis Lebih Lengkap