Supplier management menjadi salah satu aktivitas bisnis yang sangat mempengaruhi keberlangsungan perusahaan Anda. Untuk mengelola dan memastikan kedua pihak memiliki pemahaman yang sama, maka dibutuhkan dokumen perjanjian khusus yang mencakup tujuan dan ekspektasi dari kerja sama tersebut. Dokumen ini dikenal dengan service level agreement (SLA).
SLA ternyata juga memiliki komponen utama agar dapat digunakan sebagai dokumen kontrak yang sah. Tidak hanya itu, bahkan juga dibedakan ke dalam berbagai jenis yang disesuaikan dengan tujuan kerja sama, pihak yang terlibat, serta skala bisnisnya. Untuk lebih memahami hal-hal tersebut, yuk simak langsung pembahasan artikel berikut!
1. Pengertian Service Level Agreement
Service level agreement (SLA) adalah sebuah dokumen kontrak yang menjelaskan detail tentang jasa yang akan diberikan oleh penyedia layanan kepada kliennya. Informasi tersebut bisa berisi parameter kinerja seperti waktu tanggapan, ketersediaan layanan, dan proses penanganan masalah. Sebuah bisnis memerlukan dokumen ini untuk menjamin kedua pihak, baik penyedia layanan maupun klien, memiliki pemahaman yang sama tentang standar layanan, tanggung jawab, serta ekspektasi yang telah disepakati.
Dalam supply chain management (SCM), SLA berperan penting untuk menentukan kualitas dan efisiensi layanan antara pemasok, produsen, distributor, dan pelanggan. Perusahaan yang bekerjasama dengan pemasok memiliki SLA untuk menangani waktu pengiriman, kualitas barang, dan jumlah persediaan minimum yang harus dipenuhi. Jadi, risiko ketidaksesuaian bisa diminimalkan. Dampaknya, seluruh rantai pasok akan berjalan dengan lancar dan dapat meningkatkan kepuasan pelanggan dalam jangka panjang.
Karena supply chain management melibatkan banyak pihak, tentu dibutuhkan transparansi informasi. Nah, service level agreement juga bisa digunakan untuk memastikan hal tersebut. Contohnya, jika ada gangguan pada pengiriman atau sistem manajemen mutu barang, SLA akan mengkonfirmasi berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk menangani masalah tersebut dan siapa yang bertanggung jawab. Dengan demikian, SLA tidak hanya mempengaruhi kualitas layanan, tetapi juga meningkatkan kerjasama pada supply chain management.
2. Mengapa SLA Perlu di Supplier Management?
Hubungan yang baik dengan berbagai pihak di proses supply chain management tentunya akan memberi dampak positif juga bagi keberlangsungan bisnis Anda. Misalnya mengelola hubungan dengan supplier akan membantu perusahaan dalam mendapatkan bahan baku atau produk yang berkualitas. Nah, SLA bisa dimanfaatkan untuk kepentingan supplier management ini.
Dokumen service level agreement memberikan kerangka kerja yang jelas mengenai ekspektasi dan tanggung jawab kedua belah pihak yang bersangkutan. Dengan adanya SLA, perusahaan dapat mendefinisikan standar kualitas produk atau jasa yang diterima, waktu pengiriman, alur rantai pasokan, serta parameter lainnya yang relevan. Selain itu, SLA membantu dalam mengidentifikasi, mengukur, dan mengendalikan risiko yang berkaitan dengan supplier management.
Bahkan, SLA dalam supplier management juga mendukung keberlanjutan dan inovasi dalam rantai pasokan. Bagaimana caranya? Karena dokumen ini berisi informasi ekspektasi yang jelas dan mekanisme peninjauan kinerja, perusahaan dapat memotivasi pemasok untuk terus meningkatkan layanannya, menyesuaikan dengan perubahan kebutuhan pasar, dan berinovasi sesuai dengan tuntutan pelanggan. Dari sini, bisa dipastikan rantai pasokan Anda tetap kompetitif, responsif, dan mampu memberikan nilai tambah kepada pelanggan.
3. Konten Wajib Service Level Agreement
Untuk memastikan kedua belah pihak memiliki pemahaman yang jelas dan sama terkait dengan hal yang disepakati, ada beberapa konten wajib yang harus ada dalam SLA. Berikut penjelasan dari masing-masing konten tersebut.
a. Ringkasan Perjanjian
Dokumen service level agreement harus diawali dengan ringkasan perjanjian yang memberikan gambaran umum tentang hal yang disepakati oleh kedua pihak. Fungsinya untuk memudahkan pihak-pihak terkait untuk memahami inti perjanjian tanpa harus membaca dokumen secara keseluruhan. Biasanya, ringkasan mencakup pihak-pihak yang terlibat, jenis layanan yang akan diberikan, dan durasi perjanjian.
b. Deskripsi Perjanjian
Setelah ringkasan, juga diperlukan deskripsi perjanjian yang detail. Bagian ini menjelaskan layanan atau produk yang akan diberikan, termasuk ruang lingkup, tanggung jawab dari masing-masing pihak, kondisi, batasan, dan parameter lainnya yang relevan. Dengan deskripsi yang jelas dan rinci, risiko kesalahpahaman atau konflik dapat diminimalkan.
c. Metrik Performa Perjanjian
Konten ini digunakan untuk menjelaskan cara mengukur dan menilai kinerja layanan yang diberikan. Bisa berupa parameter kinerja, batasan, dan standar kualitas yang diinginkan. Misalnya, dalam konteks industri manufaktur, metrik ini mencakup kualitas bahan baku, efisiensi produksi, toleransi kesalahan, atau waktu pengiriman produk. Menggunakan metrik yang dapat diukur memungkinkan kedua pihak untuk mengevaluasi kinerja layanan secara objektif dan mengambil langkah-langkah korektif yang nantinya diperlukan.
d. Proses Penghentian & Tanda Tangan
Bagian ini menjelaskan kondisi atau alasan yang dapat menyebabkan perjanjian diakhiri. Baik itu karena pelanggaran, perubahan keadaan, atau alasan lainnya. Selain itu, uraikan juga prosedur yang harus diikuti untuk penghentian formal. Terakhir dan tidak kalah penting, dokumen SLA harus ditandatangani oleh perwakilan resmi dari kedua belah pihak. Tanda tangan ini memberikan kekuatan hukum pada dokumen dan menegaskan keabsahannya.
4. Jenis Service Level Agreement
Dalam penyusunannya, ada beberapa jenis dokumen yang dapat dipertimbangkan, tergantung pada struktur perusahaan, jenis layanan yang ditawarkan, dan dengan siapa perjanjian tersebut dibuat. Berikut penjelasan dari masing-masing jenis SLA.
a. Customer Based SLA
Customer based SLA didefinisikan berdasarkan kebutuhan spesifik dari satu entitas atau divisi dalam perusahaan. Sebagai contoh, divisi produksi di sebuah perusahaan manufaktur memiliki SLA khusus dengan supplier bahan baku yang mencakup ketentuan khusus mengenai kualitas, waktu pengiriman, dan volume bahan baku yang diperlukan untuk produksi. Perjanjian ini akan difokuskan sepenuhnya pada kebutuhan divisi produksi tersebut.
b. Serviced Based SLA
Service based SLA berfokus pada layanan atau produk tertentu yang diberikan oleh supplier kepada perusahaan, tanpa membedakan antara divisi atau entitas yang menerimanya. Misalnya, jika sebuah perusahaan membeli komponen elektronik dari sebuah supplier, SLA akan menetapkan standar kualitas, spesifikasi, dan ketersediaan komponen tersebut untuk seluruh perusahaan, tanpa mempertimbangkan divisi atau proyek mana yang akan menggunakan komponen tersebut.
c. Multi Level SLA
Multi level SLA menggabungkan aspek dari kedua jenis SLA di atas, dengan kesepakatan yang diberlakukan pada beberapa level dalam perusahaan. Perhatikan contoh berikut. Sebuah perusahaan multinasional memiliki SLA tingkat perusahaan dengan menerapkan rantai pasokan global untuk menetapkan ekspektasi umum. Pada saat yang sama, cabang atau divisi regional mungkin memiliki SLA tambahan yang mempertimbangkan kebutuhan dan kondisi spesifik di wilayah mereka. Cara ini memungkinkan fleksibilitas dalam menjalin hubungan dengan supplier.
5. Kesimpulan
Dari penjelasan di atas bisa disimpulkan ternyata service level agreement (SLA) menjadi dokumen penting dalam menetapkan persamaan persepsi dan standar pada supplier management. Dengan menyesuaikan jenis SLA, perusahaan dapat menuliskan perjanjian dengan kebutuhan spesifik, baik itu berdasarkan divisi tertentu, jenis layanan, atau skala perusahaan.
Dalam supplier management, SLA tidak hanya menjamin kualitas layanan atau produk yang diterima, tetapi juga memfasilitasi kerjasama yang lebih erat dan koordinasi yang lebih baik. Melalui penggunaan SLA yang tepat, potensi kesalahpahaman dan konflik dapat diminimalkan, serta dapat dipastikan kedua pihak memiliki pemahaman yang jelas tentang tanggung jawab dan ekspektasi yang telah disepakati.