Dalam dunia bisnis, purchasing inventory management menjadi elemen penting yang menentukan alur kerja dan profitabilitas perusahaan. Melakukan manajemen stok barang dengan baik bukan hanya tentang menyimpan barang dalam jumlah yang cukup, tetapi juga menyangkut kapan harus membeli, berapa banyak yang harus dibeli, dan kapan waktunya untuk menjual.
Artikel ini akan membahas lima metode pembelian. Di antaranya just in time (JIT), economic order quantity (EOQ), reorder point, dropshipping, dan consignment. Setiap metode ini memiliki keunggulannya tersendiri yang bisa membantu perusahaan mengoptimalkan proses purchasing dan manajemen inventori, serta meningkatkan efisiensi dan profitabilitas.
1. Just In Time (JIT)
Just in time (JIT) adalah metode purchasing management pada inventori yang bertujuan untuk meningkatkan efisiensi dengan memesan barang hanya ketika dibutuhkan dalam proses produksi. Sehingga mengurangi biaya penyimpanan barang. Metode ini tidak memfokuskan pada perhitungan kuantitatif, tetapi lebih pada koordinasi yang baik antara pemasok dan produsen sehingga barang datang tepat waktu sesuai kebutuhan.
Misalkan perusahaan pembuat sepeda membutuhkan 100 unit roda setiap hari untuk proses produksinya. Pemasok memerlukan waktu 3 hari untuk mengirimkan roda setelah menerima pesanan. Dalam situasi ini, Anda harus melakukan pesanan baru setiap kali stok roda tersisa 300 unit (100 unit x 3 hari = 300 unit). Dengan strategi ini, pasokan roda baru akan tiba tepat ketika stok lama hampir habis. Sehingga meminimalkan kebutuhan untuk penyimpanan yang berlebihan.
Metode ini memiliki beberapa keunggulan. Dengan mengatur inventory secara minimum, perusahaan dapat mengurangi biaya penyimpanan, yang mungkin mencakup biaya sewa gudang, asuransi, dan biaya yang terkait dengan kerusakan barang. Metode JIT juga membantu untuk mengurangi limbah dan meningkatkan efisiensi produksi dengan memastikan bahan baku dan komponen hanya dipesan dan diterima ketika dibutuhkan dalam proses produksi.
2. Economic Order Quantity (EOQ)
Economic order quantity (EOQ) adalah metode yang bertujuan untuk menentukan jumlah optimal dari setiap proses pengadaan, sehingga dapat meminimalkan total biaya yang terkait dengan pemesanan dan penyimpanan inventori. Rumus dasarnya adalah sebagai berikut.
EOQ = √ [(2DS) / H]
dengan:
- D = Permintaan tahunan
- S = Biaya pemesanan per pesanan
- H = Biaya penyimpanan per unit per tahun
Misalkan sebuah toko buku memperkirakan akan menjual 10.000 unit buku dalam satu tahun (D). Biaya untuk melakukan setiap pesanan kepada pemasok adalah Rp500.000 (S), dan biaya untuk menyimpan satu unit buku dalam inventori untuk satu tahun adalah Rp20.000 (H). Maka EOQ toko tersebut yaitu:
EOQ = √ [(2 x 10.000 x 500.000) / 20.000] = 500 unit
Dalam hal ini, toko buku tersebut idealnya harus melakukan pesanan sebanyak 500 buku setiap kali melakukan pesanan untuk meminimalkan total biaya pemesanan dan penyimpanan.
Dengan mengetahui jumlah pembelian yang optimal, perusahaan dapat membuat purchasing management lebih efisien dan menghindari overstock atau stockout. Namun, metode tersebut mengasumsikan bahwa permintaan, biaya pembelian dan biaya penyimpanan konstan, yang mungkin tidak selalu berlaku di dunia nyata. Oleh karena itu, perusahaan harus tetap fleksibel dan menyesuaikan EOQ dengan kondisi pasar dan operasional yang berubah-ubah.
3. Reorder Point
Reorder point adalah tingkat stok dimana pesanan baru harus ditempatkan untuk mencegah kekurangan stok. Ini adalah metode yang membantu menentukan kapan waktu yang tepat untuk melakukan pembelian baru. Rumus dasarnya adalah:
Reorder point = Lead time x Demand
di mana:
- Lead time adalah waktu yang dibutuhkan dari saat pesanan dilakukan hingga barang diterima.
- Demand adalah kebutuhan atau konsumsi per hari.
Misalkan sebuah restoran menggunakan rata-rata 50 kg beras setiap hari. Setelah melakukan pesanan kepada pemasok, biasanya dibutuhkan waktu 7 hari untuk pengiriman (lead time).
Reorder Point = 50 kg/hari x 7 hari = 350 kg
Jadi, restoran tersebut harus melakukan pesanan baru ketika stok beras mereka mencapai 350 kg untuk mencegah kehabisan stok.
Dengan mengetahui kapan harus melakukan pesanan baru, Anda dapat merencanakan dan mengoptimalkan gudang yang digunakan perusahaan. Namun, metode ini memerlukan penyesuaian berdasarkan variasi dalam permintaan dan waktu pengiriman. Oleh karena itu, penting untuk tetap memonitor dan menyesuaikan Reorder Point sesuai kebutuhan.
4. Dropshipping
Dropshipping adalah model pembelian dalam manajemen inventori di mana pengecer tidak menyimpan barang yang dijual di inventori sendiri. Sebaliknya, saat pengecer menjual produk, mereka membelinya dari pemasok tiga pihak (umumnya produsen atau wholesaler) dan memiliki produk tersebut untuk dikirim langsung ke pelanggan. Dengan demikian, pengecer tidak pernah menangani produk secara fisik.
Tidak ada perhitungan khusus yang digunakan dalam metode ini karena pengecer tidak perlu mempertimbangkan biaya penyimpanan, pemesanan, atau penanganan barang. Namun, Anda harus memperhitungkan biaya yang dikenakan oleh pemasok dropshipping. Termasuk harga barang dan biaya pengiriman saat menentukan harga jual.
Misalkan Anda memiliki toko online yang menjual aksesoris ponsel dan Anda menggunakan model dropshipping. Pemasok menjual case ponsel dengan harga Rp50.000 per unit dan biaya pengiriman Rp10.000. Anda memutuskan untuk menjual case ponsel ini dengan harga Rp100.000. Jadi, setiap kali Anda menjual satu unit, Anda akan mendapatkan laba Rp40.000.
Dengan purchasing inventory management tersebut, Anda tidak perlu menginvestasikan banyak uang dalam inventori sebelum Anda memulai bisnis. Anda hanya membeli produk setelah Anda menjualnya kepada pelanggan. Namun dengan metode ini, Anda harus sangat bergantung pada pemasok. Jika pemasok mengalami masalah dengan inventori atau pengiriman, Anda menjadi kesulitan untuk memantau akurasi persediaan.
5. Consignment
Consignment adalah model purchasing management di mana pemilik barang (biasanya disebut consignor) memberikan barangnya ke pihak ketiga (biasanya disebut consignee atau agen) untuk menjual. Tetapi pemilik barang tetap memiliki hak milik atas barang sampai barang tersebut terjual. Jika barang tidak terjual dalam periode waktu tertentu, barang biasanya dikembalikan ke consignor. Tidak ada perhitungan khusus dalam model ini. Namun, kedua pihak biasanya akan menyetujui pembagian laba.
Misalkan Anda adalah produsen baju yang membuat pakaian wanita dan Anda memberikan beberapa koleksi Anda ke toko pakaian ritel untuk dijual dengan model consignment. Toko ritel tersebut setuju untuk menjual pakaian Anda dengan harga Rp500.000 per item.
Dalam perjanjian disepakati jika suatu item terjual, toko ritel akan mengambil komisi sebesar 30% atau Rp150.000. Sisanya atau Rp350.000 akan diberikan kepada Anda sebagai produsen. Jadi, setiap kali sebuah item pakaian terjual, Anda akan menerima Rp350.000, dan toko ritel akan menerima Rp150.000.
Keuntungan metode ini, pihak ketiga tidak perlu membayar sampai barang tersebut terjual, yang meminimalisir risiko pengadaan. Untuk Anda sebagai produsen, dapat membantu meningkatkan eksposur produk ke pasar yang lebih luas. Namun perlu diingat pembagian laba harus disepakati sebelumnya. Selain itu, jika barang tidak terjual, Anda harus menanggung biaya untuk mengambil kembali barang tersebut.
6. Kesimpulan
Dari artikel di atas dapat disimpulkan bahwa purchasing management yang tepat akan membantu bisnis memaksimalkan operasionalnya. Terlebih pada proses pengelolaan inventori yang membutuhkan keputusan bijak dalam pembelian barang. Dengan memahami masing-masing metode dan cara kerjanya, Anda dapat menentukan pilihan terbaik yang sesuai dengan kondisi bisnis dan gudang Anda.
Ada beberapa metode purchasing inventory management yang populer. Mulai dari just in time hingga consignment. Setiap metode memiliki karakteristik, kelebihan, dan keunggulannya. Hal seperti ini perlu dipahami agar strategi pembelian yang dipilih akan mengoptimalkan bisnis jangka panjang.